Home Framework Thinking STORY Framework: Mewujudkan Narasi Inklusif dan Interaktif Storytelling

STORY Framework: Mewujudkan Narasi Inklusif dan Interaktif Storytelling

10 min read
28

*) Gambar sebagai ilustrasi

STORY Framework: Mewujudkan Narasi Inklusif dan Interaktif Storytelling


Pengenalan: Mengapa Storytelling Inklusif dan Interaktif Itu Penting

Di dunia yang terus berubah dengan cepat, storytelling bukan lagi sekadar “menceritakan cerita”—melainkan tentang mengajak orang masuk ke dalam cerita. Seiring berkembangnya platform digital, alat multimedia, dan keberagaman audiens global, kebutuhan akan storytelling yang inklusif dan interaktif menjadi semakin mendesak.

Guru, kreator konten, desainer, dan pemasar kini ditantang untuk menciptakan cerita yang bisa dirasakan oleh semua orang, mengundang partisipasi, dan memungkinkan audiens ikut terlibat secara aktif.

Untuk menjawab tantangan ini, hadirlah STORY Framework—sebuah model lima langkah yang dirancang untuk membantu siapa pun menciptakan narasi yang inklusif, menarik, dan interaktif menggunakan format multimedia. Lima elemen utamanya—Storyline, Target Audience, Originality, Representation, Your Interaction—menjadi pilar dari storytelling digital yang berdampak lintas batas.


1. S – Storyline: Bangun Alur Cerita yang Jelas dan Bermakna

Setiap cerita yang mengesankan selalu dimulai dari alur cerita yang kuat. Dalam STORY Framework, “storyline” bukan hanya urutan peristiwa, tetapi juga mencakup alur emosi, pesan moral, dan struktur berpikir dari sebuah narasi.

Dalam storytelling yang inklusif, kejelasan cerita sama pentingnya dengan kedekatan emosionalnya. Baik saat Anda membuat video animasi anak, komik perubahan sosial, atau slide pembelajaran interaktif, storyline Anda sebaiknya:

  • Memiliki awal, tengah, dan akhir yang jelas
  • Menyuguhkan konflik dan penyelesaian
  • Membangkitkan rasa ingin tahu dan empati
  • Fleksibel untuk konteks budaya dan sosial yang beragam

Contoh: Saat menceritakan kisah tentang kerja sama di kelas, fokuslah bukan hanya pada “tugas”, tapi juga pada pengalaman tokoh-tokohnya, emosi mereka, dan pertumbuhan nilai yang mereka alami. Storyline menjadi inklusif jika ia merangkul sudut pandang yang beragam, dan interaktif jika ia mengizinkan audiens mengeksplorasi atau memengaruhi akhir cerita.


2. T – Target Audience: Kenali Siapa Audiens Anda

Storytelling inklusif dimulai dari empati yang mendalam terhadap audiens yang dituju. Siapa mereka? Apa yang mereka hargai? Apa tantangan mereka? Bagaimana mereka memandang dunia?

Langkah ini mencakup:

  • Menentukan usia, latar belakang, kebutuhan, dan konteks audiens
  • Mempertimbangkan aksesibilitas (misalnya: subtitle, narasi suara, teks alternatif)
  • Peka terhadap perbedaan budaya, gender, dan kemampuan
  • Menemukan cara untuk terhubung secara emosional dan kognitif

Contoh: Jika Anda membuat cerita kewirausahaan untuk remaja di pedesaan, maka penting untuk mempertimbangkan referensi lokal, bahasa sehari-hari, dan tokoh-tokoh yang relevan dengan budaya mereka. Cerita multimedia bisa berbentuk “pilih sendiri jalan ceritamu”, suara dalam berbagai bahasa, atau alur cerita yang adaptif sesuai respons pengguna.

Memahami audiens bukan hanya soal inklusivitas, tetapi juga tentang membangun kepercayaan dan kedekatan emosional. Cerita terbaik bukan hanya diceritakan kepada audiens, tetapi bersama mereka.


3. O – Originality: Hadirkan Sesuatu yang Segar dan Bermakna

Di era penuh konten digital, orisinalitas adalah tanda keaslian dan kekuatan. Dalam storytelling yang inklusif dan interaktif, originalitas bukan hanya soal “berbeda”—tetapi tentang tulus terhadap tujuan, sambil disampaikan secara kreatif.

Tanyakan:

  • Apakah cerita ini terinspirasi secara autentik dari pengalaman nyata atau pengamatan?
  • Apakah menawarkan sudut pandang segar, plot twist tak terduga, atau struktur naratif yang inovatif?
  • Apakah menggunakan elemen multimedia unik (animasi, suara, interaktivitas)?

Originalitas juga mencegah Anda mengulang stereotip. Banyak cerita tanpa sengaja mengecilkan suara minoritas dengan klise atau hanya mengangkat perspektif dominan. Storytelling inklusif menggunakan originalitas untuk mengangkat narasi yang tersembunyi, menguatkan suara yang jarang terdengar, dan menghormati keberagaman tanpa sekadar simbolik.

Contoh: Cerita digital tentang perubahan iklim bisa menyertakan kearifan lokal masyarakat adat, aktivisme pemuda, atau inovasi sains kreatif, disampaikan lewat metafora visual, animasi berbasis data, atau visual buatan pengguna.


4. R – Representation: Cerminkan Keberagaman Dunia Nyata

Representasi adalah jiwa dari storytelling inklusif. Ini menjawab pertanyaan: Siapa yang terlihat dalam cerita Anda—dan siapa yang tidak?

Representasi yang efektif mencakup:

  • Menampilkan tokoh yang beragam: ras, gender, disabilitas, budaya, latar belakang
  • Menghindari peran satu dimensi atau stereotip yang menyakitkan
  • Memberi ruang bagi suara yang kurang terwakili dengan kedalaman dan martabat
  • Menyematkan keberagaman tidak hanya secara visual, tetapi juga dalam setting, bahasa, dan nilai-nilai

Dalam multimedia, representasi juga menyentuh akurasi visual, variasi bahasa, dan desain yang inklusif. Pikirkan bukan hanya siapa tokohnya—tetapi bagaimana mereka berbicara, memecahkan masalah, dan menginspirasi audiens.

Pada format interaktif, Anda bisa menawarkan berbagai perspektif dan membiarkan pengguna merasakan berbagai sudut pandang. Misalnya, cerita bercabang bisa memungkinkan pembaca memilih pengalaman dari karakter yang berbeda dan memahami dampak dari identitas, lingkungan, atau privilese.


5. Y – Your Interaction: Libatkan dan Ajak Partisipasi

Inilah kekuatan utama storytelling modern: Your Interaction.

Berbeda dari storytelling satu arah tradisional, cerita interaktif mengundang audiens menjadi rekan pencipta. Bisa melalui:

  • Struktur cerita bercabang (choose-your-own-adventure)
  • Input suara atau simulasi dialog
  • Panel cerita yang bisa diklik atau digeser
  • Game, kuis, atau refleksi dalam cerita
  • Konten buatan pengguna atau umpan balik langsung

“You” dalam konteks ini mengacu pada pembuat dan pengguna. Storyteller harus merancang cerita yang terbuka, adaptif, dan hidup, memberi kendali pada audiens. Bila dilakukan dengan baik, interaksi meningkatkan keterlibatan, ingatan, dan koneksi pribadi terhadap materi.

Bagi guru, ini bisa berarti membiarkan siswa membangun versi cerita mereka sendiri. Bagi kampanye sosial, ini bisa berarti mendorong audiens untuk bertindak setelah menyelami cerita.


Penutup: STORY sebagai Kompas Kreatif Narasi Inklusif

STORY Framework bukan sekadar daftar langkah—ini adalah kompas kreatif. Ia membimbing guru, kreator konten, dan storyteller untuk membangun pengalaman naratif yang inklusif, menarik, dan berdampak, dengan bantuan alat digital dan multimedia.

Dengan memanfaatkan Storyline, Target Audience, Originality, Representation, dan Your Interaction, Anda melampaui sekadar menyampaikan informasi—Anda menciptakan cerita yang menghubungkan, memberdayakan, dan mentransformasi.

Di dunia hari ini, setiap orang punya cerita, dan dengan kerangka kerja yang tepat, setiap cerita bisa berarti. Bersama STORY, Anda tidak hanya menciptakan cerita yang lebih baik—Anda juga membantu membentuk storyteller yang lebih baik, terutama di lingkungan belajar dan inisiatif sosial di mana inklusi dan keterlibatan adalah kunci.


Jika mempunyai pertanyaan berkaitan pelatihan, pendampingan, perencanaan dan pengembangan yang kami berikan dan berkeinginan kerjasama, silahkan untuk mengkontak kami, haitan.rachman@inosi.co.id 

 

Comments are closed.

Check Also

JUSTICE Framework: Panduan Praktis Mewujudkan Keadilan dalam Hukum, Etika, dan Kepemimpinan

*) Gambar sebagai ilustrasi JUSTICE Framework: Panduan Praktis Mewujudkan Keadilan dalam H…